Babak 1: Di Balai Sastra Kota Di suatu sore yang cerah, langit Yogyakarta memancarkan rona keemasan di atas Balai Sastra Kota. Dino, seorang siswa Kelas 12 dengan semangat ingin tahu yang menggelora, melangkah mantap melewati pintu gerbang berhiaskan ukiran tradisional yang menjadi saksi bisu perjalanan ilmu dan budaya. Setiap langkahnya mengiringi suasana kota yang tak lekang oleh waktu, dengan aroma kopi segar, rempah-rempah khas, dan gelak tawa pengunjung setempat. Di balik nuansa keakraban itu, terpancar getaran semangat untuk mendalami ragam bahasa dalam sastra modern yang selalu ia dambakan.
Sambil menikmati keindahan sore, Dino menyusuri lorong-lorong Balai Sastra yang dipenuhi berbagai pameran dan karya sastra. Di setiap sudut, ia menemukan ekspresi bahasa yang berwarna—dari formalitas yang terstruktur hingga kebebasan bahasa sehari-hari yang memukau. Dia terpesona dengan cara penulis muda memasukkan logat khas Jogja dan Solo ke dalam karyanya. Melalui puisi, cerpen, dan esai yang dipajang, Dino mulai memahami betapa dalamnya interaksi antara bahasa dan budaya. Dari sekilas pandang, ia menyadari betapa setiap ragam bahasa menciptakan nuansa berbeda dalam sebuah karya sastra.
Hatinya bergemuruh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak henti menghantam: Bagaimana sebenarnya perbedaan mendasar antara bahasa formal dan non-formal dalam konteks sastra modern? Sejauh mana kekayaan budaya lokal mempengaruhi gaya penulisan para sastrawan muda? Dino pun menuliskan pertanyaan-pertanyaan tersebut di buku catatannya, berharap jawaban dari setiap tanda tanya itu dapat membuka cakrawala pemahaman baru tentang dinamika bahasa di tengah masyarakat. Ia pun berpikir, “Mungkin, setiap kalimat yang tertulis membawa pesan mendalam yang mampu merangkul identitas lokal dan global.